Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pascarapat konsultasi bersama DPR menyatakan bahwa moratorium (penundaan) pemekaran daerah akan dilanjutkan. Ini karena 80 persen daerah memiliki nilai rendah pasca pemekaran daerah. Pimpinan Komisi II DPR menilai pernyataan presiden itu sepihak sehingga menolak moratorium pemekaran daerah.
"Berdasar data Kemendagri, data daerah pemekaran justru cukup potensial dan tinggi perkembangan,? kata Ketua Komisi II DPR Chairuman Harahap dalam keterangan pers di gedung parlemen kemarin (15/7).
Menurut Chairuman, data Kemendagri menunjukkan bahwa 58,7 persen daerah pemekaran memiliki nilai tinggi dalam perkembangan secara otonom. Data itu adalah angka yang signifikan. Kemendagri selama ini tidak pernah menyampaikan data kegagalan 80 persen daerah pemekaran, seperti yang disampaikan presiden. "Tidak benar bila daerah pemekaran itu gagal," ujarnya.
Meskipun dianggap gagal, kesalahan tidak bisa semata-mata ditujukan kepada daerah otonom baru tersebut. Chairuman menyatakan, kegagalan daerah pemekaran bukan semata-mata disebabkan rendahnya kualitas pemerintah daerah baru. Faktor lain yang mendukung perkembangan daerah pemekaran tersebut juga harus dilihat. "Apa dukungannya cukup, pembinaan cukup, yang menyebabkan perkembangannya tidak sesuai harapan," jelas politikus Partai Golkar itu.
Wakil Ketua DPR Ganjar Pranowo menyatakan, Komisi II DPR mempertanyakan asal data yang diungkapkan presiden. Seharusnya presiden mendasarkan pada data Kemendagri yang sudah bertahun-tahun menilai daerah pemekaran. "Jangan-jangan konsolidasinya ini tidak benar," kata Ganjar di tempat yang sama.
Menurut Ganjar, dalam ketentuan UU 32/2004 yang juga mengatur pemekaran, sama sekali tidak ada aturan hukum terkait moratorium. Presiden dalam hal ini juga memiliki persyaratan pemekaran seperti tercantum dalam PP Nomor 78 Tahun 2007. "DPR selama ini tidak pernah mendorong pemekaran, juga tidak pernah mengerem pemekaran. Pemekaran itu mestinya dalam konteks yang proporsional," jelas Ganjar.
Jika dirunut, saat ini terdapat 67 daerah yang akan dimekarkan masuk dalam draf pemerintah. Komisi II DPR mengambil sampel 33 daerah. Dari 33 daerah itu, mereka tinggal melengkapi persyaratan sebagaimana ketentuan presiden tersebut. Dengan kekurangan semacam itu, seharusnya opsi moratorium tidak diambil presiden. "Yang kurang silakan melengkapi. Kalau sudah lengkap, kita serahkan ke presiden. Terserah presiden kalau mau menolak. Tapi, kalau menolak, kami akan pidato bahwa (DPR) sudah menyatakan lengkap," ujarnya.
Mengapa saat itu pimpinan DPR tidak langsung menyuarakan data yang seharusnya? Menurut Ganjar, ada hambatan psikologis yang terjadi pada ketua DPR. Hal itu tidak bisa dimungkiri. Karena itulah, Komisi II DPR sengaja menggelar keterangan pers untuk mengklarifikasi sikap DPR yang sebenarnya. "Kalau tidak, justru kami dituduh menjadi agen pemekaran," jelas politikus PDIP itu.
Wakil Ketua DPR Teguh Juwarno menambahkan, pemekaran daerah seharusnya dilihat dari sudut yang lebih luas. Harus diakui bahwa pemekaran telah mendekatkan layanan pemerintah daerah dengan rakyatnya. Kesimpulannya, daerah pemekaran bisa berkembang karena upaya publik itu sendiri. Pemerintah dalam hal ini hanyalah stimulan untuk memperluas desentralisasi pemerintahan. "Jadi, anggaran yang saat ini masih terpusat semaksimal mungkin diberikan ke daerah," jelasnya. (Sumber : 16 Juli 2010/jpnn.com)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar