Pemerintah lewat Wakil Presiden Boediono didesak untuk segera mengambil keputusan tentang kelanjutan proyek Donggi Senoro. Mulai dari investor migas hingga Dewan Perwakilan Daerah Provinsi Sulawesi Tengah meminta Wapres segera mengambil keputusan.
Ketua Komisi III Bidang Pembangunan DPRD Sulteng Nawawi Sang Kilat menagih janji Wapres Boediono untuk segera menyetujui proyek Donggi senoro
"Kami tagih janji yang disampaikan Pak Boediono saat kunjungan ke Sulawesi pada 8 April lalu. Di sana dia bilang bahwa masalah Donggi Senoro akan secepatnya diselesaikan di Jakarta," kata Ketua Komisi III Bidang Pembangunan DPRD Sulteng, Nawawi Sang Kilat dalam acara 'Akselerasi Proyek Donggi Senoro' di Hotel Sultan, Jakarta, Selasa (20/4/2010).
Menurut dia, keputusan mengenai kelanjutan proyek ini harus diputuskan karena keberadaan proyek ini nantinya akan memberikan tambahan kontribusi yang besar terhadap pendapatan daerah hingga Rp 1,2 triliun. Saat ini, pendapatan daerah Provinsi Sulteng sendiri tercatat sekitar Rp 1,1 triliun.
Ia juga menyoroti soal masalah alokasi dari lapangan yang memiliki cadangan sekitar 2,5 tcf tersebut yang hingga saat ini masih menjadi kontroversi. Menurutnya, sikap pemerintah yang tidak mengizinkan ekspor gas dari lapangan Senoro dan Matindok sebagai sikap yang diskriminasi.
"Kenapa Bontang boleh diekspor tapi Senoro tidak boleh. Ini diskriminasi namanya," kata dia.
Pada kesempatan yang sama, Anggota Komisi VII DPR RI, Soetan Batoegana juga mendesak agar Wapres segera memutuskan kelanjutan soal proyek ini. Pasalnya jika tidak diputuskan maka Indonesia akan kehilangan momentum.
"Soal Donggi Senoro selama 20 tahun ini kita hanya maju mundur maju mundur sementara negara lain sudah mulai memproduksi gas. Takutnya saat kita mau produksi harga gas malah sudah turun," ungkapnya.
Apalagi, lanjut dia, dalam pengembangan proyek ini, Pertamina dan Medco sudah memiliki kontrak internasional dengan pihak Mitsubishi dan juga para calon pembeli asal Jepang. Ia khawatir jika proyek ini terus tertunda maka akan merugikan investor dan mencoreng nama Indonesia di mata Internasional
"Kita punya hubungan emosional dengan Jepang. Dia sudah habiskan duitnya untuk survey tahu-tahu dengan enaknya kita batalkan," tandasnya.
Direktur Eksekutif Refor-Miner Institute, Pri Agung Rakhmanto menilai tidak ada alasan bagi pemerintah untuk menolak ini. Misalnya dari, sisi pendapatan, jika proyek ini berjalan maka pemerintah akan mendapatkan penerimaan dari dua sumber yaitu dari sisi hulu (upstream) dan hilir (downstream).
"Karena di situkan Pertamina juga akan mendapatkan penerimaan dari sisi downstream juga," kata dia.
Sementara dari sisi harga, ia menilai harga yang disepakati jauh lebih baik dari harga jual gas ke Tangguh. "Apalagi saat ini harga gas tidak menentu yang pada saat normal, kalau harga minyak US$ 80 per barel maka harga US$ 6-7 per mmbtu, tapi sekarang hanya US$ 3-4 per mmbtu karena pasar juga sedang jenuh," tandasnya.
Di tempat terpisah, Direktur Utama Medco Energi Budi Basuki masih harap-harap cemas menanggapi persoalan ketidakpastian proyek Senoro ini. "Kita rajin (shalat) tahajjud saja," ujarnya.
Dia berharap proyek ini bisa selesai secepatnya, untuk mulai mengatasi persoalan defisit gas negara.
"Kami mengharapkan Donggi Senoro bisa secepatnya karena sangat membantu bagi kepentingan daerah, bisa dilakukan seperti apa yang kita rencanakan ekspor domestik, berkontribusi bagi negara," jelasnya.
Budi mengakui, jika proyek ini tidak diselesaikan secepatnya, maka baik kontraktor dan pemerintah akan merugi. Apalagi dengan komposisi gas sebesar 70% untuk ekspor dan 30% untuk domestik. Namun, mengenai isu hengkangnya Mitsubisi karena kerugian akibat tersedatnya proyek ini, Budi masih bungkam (Sumber : Detik.com).
Rabu, 21 April 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar