Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Banggai harus siap memanfaatkan biosulfur yang dihasilkan dari sumur-sumur gas Blok Matindok dan Senoro. Pasalnya, biosulfur yang dihasilkan dapat dimanfaatkan sebagai pupuk tanaman. Hal ini disampaikan Facility Manager PT Pertamina EP –PPGM (Proyek Pengembangan Gas Matindok) Syahrial Ali belum lama ini di Luwuk.
Menurut Syahrial, pengembangan sumur-sumur gas Matindok di Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah nantinya tidak hanya menghasilkan gas untuk dipasok ke kilang PT Donggi Senoro LNG (DSLNG) tapi juga kondensat dan biosulfur. Untuk kondensat akan disatukan di terminal kondensat yang dikelola JOB Pertamina – Medco E & P Tomori Sulawesi (JOB PMTS) di Lapangan Gas Senoro. Sedangkan biosulfur yang dihasilkan dalam bentuk pasta dari produksi gas beracun hidrogen sulfida (H2S) tidak akan dimanfaatkan. Untuk itu, Pemkab harus memanfaatkannya bagi peningkatan produksi pertanian dengan mendistribusikannya ke petani.
PT Pertamina EP –PPGM sendiri telah bekerjasama dengan Pusat Penelitian Bioenergi dan Surfaktan IPB (Institut Pertanian Bogor) untuk penelitian pemanfaatan biosulfur dari gas Matindok sebagai pupuk tanaman kedelai, jagung, dan jarak pagar. Sementara untuk pupuk tanaman bawang dikerjasamakan dengan Fakultas Pertanian Universitas Tadulako (Untad) Palu. Dan hasil penelitian menunjukkan biosulfur dapat meningkatkan pertumbuhan vegetatif yang baik dan memperkokoh sistem perakaran tanaman.
Dijelaskannya, hasil penelitian terhadap tanaman bawang oleh Faperta Untad pada percobaan rumah kaca (green house) menunjukkan, respons tanaman terhadap pemupukan biosulfur tidak berpengaruh nyata pada tinggi tanaman, baik pada umur 15 hari, 30 hari maupun 45 hari setelah tanam (HST). Namun, respons tanaman terhadap pemupukan berpengaruh nyata pada bobot segar dan bobot kering pada 30 HST.
Sedangkan pada percobaan lapangan terungkap bahwa respons tanaman terhadap pemupukan Biosulfur tidak berpengaruh nyata pada tinggi tanaman, namun perlakuan pemberian pupuk standar (NPK) ditambah biosulfur serta perlakuan pemupukan biosulfur secara tunggal cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol dan pemupukan standard (NPK) (P0 dan P1). Sementara respons tanaman terhadap pemupukan berpengaruh nyata pada bobot kering tanaman umur 30 HST. Dimana perlakuan pemberian pupuk standar (NPK) ditambah biosulfur, serta perlakuan pemupukan biosulfur secara tunggal (P2 dan P3) cenderung lebih baik dibanding perlakuan kontrol dan pemupukan standar (P0 dan P1).
Karenanya, di masa mendatang, kata Syahrial, biosulfur dari Donggi Senoro dapat dimanfaatkan bagi pemenuhan kebutuhan pupuk petani di Sulawesi Tengah. Dengan adanya hasil samping tersebut, maka kebutuhan sulfur yang merupakan hara esensial makro bagi pertanian dapat dipenuhi. Hara esensial seperti Sulfur sendiri dibutuhkan dalam jumlah besar dan tidak dapat digantikan oleh hara lainnya. “Biosulfur telah diteliti dan aman untuk pupuk. Sepanjang dikelola dengan baik, biosulfur buangan dari Donggi Senoro sangat potensial untuk pertanian. Nanti Pemda yang atur soal pemanfaatan biosulfur dari pada hanya dibuang,” kata Syahrial.
Diperkirakan, sekitar 15 ton biosulfur per hari akan dihasilkan PT Pertamina EP –PPGM dari Lapangan Gas Donggi, Matindok dan Sukamaju di Blok Matindok selama 15 tahun masa eksploitasi. Sementara JOB PMTS akan menghasilkan sekitar 30 ton biosulfur per hari dari Lapangan Gas Senoro.
Syahrial menambahkan, dengan banyaknya produksi biosulfur setiap harinya, maka Pemda diharapkan dapat mengelolanya dengan baik. Dan akan lebih baik lagi bila nantinya biosulfur yang dihasilkan dapat dikomersialkan untuk menambah pendapatan daerah dengan mampu didistribusikan bagi kebutuhan daerah lain. (Sumber : indonesiaenergywatch.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar