Rabu, 01 Juli 2009
"Luwuk from ABOVE" (Alun-alun Air di Luwuk )
Jika kita memperhatikan kota-kota di Indonesia pada umumnya, yang disebut alun-alun biasanya berupa lapangan besar di tengah kota yang menjadi public space bagi penduduk atau warga kota itu, dan ruang besar itu berada di atas tanah yang datar yang demikian luas, seringkali berumput. Tetapi, yang kita lihat di Luwuk, ibukota Kabupaten Banggai di Sulawesi Tengah ini sungguh berbeda. Di sini, alun-alun kota tidak berupa daratan, melainkan berupa sebuah perairan. Bagaimana bisa terjadi?
Ya, kota Luwuk secara kebetulan memiliki keunikan alamiah yang jarang ditemui di tempat lain. Kota pantai ini memiliki teluk yang membentuk sebuah bundaran besar perairan di tengah-tengah kota. Teluk ini dinamai Teluk Lalong, yang menjadi orientasi utama kota Luwuk. Karena laut menjadi area yang rendah, maka kota Luwuk menjadi seperti sebuah cawan besar yang terisi air di bagian tengahnya. Sebagai sebuah ruang publik, aktifitas komunal masyarakat Luwuk banyak tersedot di daerah sekitar Teluk Lalong ini.
Selain sebagai ruang komunal, alun-alun air ini juga menjadi pusat kegiatan ekonomi Luwuk, karena juga berfungsi sebagai pelabuhan. Di sini ada terminal peti kemas, ada pelabuhan rakyat, ada dermaga untuk perahu wisata, ada tempat untuk bersantai dan makan, ada tempat budidaya ikan di karamba dan lain sebagainya. Pendeknya, Teluk Lalong ini menjadi public space dan sekaligus CBD (Central Business District) bagi kota Luwuk.
Kondisi yang unik seperti ini jelas memiliki banyak potensi, sehingga harus ditata dan diatur dengan cermat dan teliti. Di samping dampak positif, ada banyak masalah yang mungkin mengancam Teluk Lalong ini seperti pencemaran air, kerusakan kekayaan hayati, abrasi pantai, juga terlalu padatnya bangunan di sekitar teluk. Sebelum semua dampak negatif itu terjadi, teluk ini harus dibangun dengan tanpa melupakan upaya untuk menjaga keberlanjutannya, baik secara ekonomis, kultural dan natural.
Di dalam bahasa Jawa atau Melayu, kata alun berarti ombak yang memanjang yang tidak bergulung-gulung, maka sangat mungkin sekali kata alun-alun memang ada hubungannya dengan air juga. Di kota Luwuk ini, kita melihat sebuah dialektika antara tanah dan air yang mengingatkan kita akan keberanian nenek-moyang kita dulu menaklukkan dunia bahari dengan mengarungi samudera luas hingga pesisir barat Afrika dengan kapal-kapal layar. Tidak salah jika kemudian kota Luwuk mempunyai semboyan ambigu “Luwuk Berair”, yang juga bisa diartikan Bersih, Aman, Indah dan Rapi.
Jadi, alun-alun Teluk Lalong ini juga sekaligus sebagai sebuah kritik kepada pandangan kita akan tanah air selama ini yang cenderung berat sebelah. Tanah begitu dipuja dan didewakan, dibela hingga “sadumuk bathuk, sanyari bumi”. Namun kita sering lupa pada kekuatan air yang sebenarnya merupakan genesis dari keberadaan kita di Nusantara ini. Di Luwuk, kita kembali diingatkan pada kekuatan dialektis dari kehidupan purba Nusantara yang mana tanah dan air adalah dua kekuatan yang tak terpisahkan.
Nenek moyang kita dahulu datang ke Nusantara secara bergelombang melalui laut, lalu menetap di sejumlah pulau-pulau yang tersebar di dalam rangkaian kepulauan Nusantara. Mereka begitu akrab dengan kehidupan laut, dengan dunia air, sebagaimana tersurat dalam syair lawas:
Papan disusun menghadang ombak
Layar dijalin menentang angin
Nakhoda awas di kemudi
Pedoman jangan dilepaskan
Jika memang demikian, alun-alun Teluk Lalong di Luwuk ini adalah alun-alun real dengan alun atau ombak kecil yang datang silih berganti. Dan Luwuk menjadi sebuah kota yang benar-benar menjadi tanah-air bagi warganya. (Sumber : Surabayapost)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar